Rabu, 29 April 2009

PENYAIR YANG BERMAIN-MAIN DENGAN KATA

Seorang penyair memiliki kebebasan dengan sebebas-bebasnya untuk bermain dengan kata-kata. Mereka bisa membuat puisi dengan cara ‘mengacak-acak’ kata hingga keluar dari struktur bahasa konvensional. Hal ini bisa saja dilakukan, karena menurut Paul Valery, puisi adalah sebuah dunia yang benda-benda dan makhluk di dalamnya atau lebih tepat imajinya punya kebebasan dan hubungan yang berbeda dari dunia praktis. Atau dalam bahasa penyair Sihar ramses Simatupang, bermain dengan kata-kata dengan dalim licencia poetica adalah sebuah cara mencurahkan kosmo dari seorang penyair. Seorang sastrawan jelas berbeda dengan seorang linguis.
Ahmad Supena, penyair yang kini mengajar di Unma (Universitas Matlaul Anwar) Pandeglang juga melakukan hal serupa. Ia menikmati licencia poetica, untuk bermain kata-kata. Kata penunjuk tempat, seperti Banten yang menurut bahasa Indonesia yang baik dan benar ditulis dengan huruf awal besar, oleh Supena dipermainkan dengan huruf awal kecil. Bahkan dalam beberapa puisinya, penyair yang kerap menggunakan nama pena Ahmad Rumi ini menulis seluruh kata dalam puisinya dengan huruf kecil.
Kenakalan-kenakalan yang dilakukan para penyair yang mengikuti proyek “Puisi 3/3’ ini, memang bukan yang pertama kalinya dilakukan seorang penyair. Hampir seluruh penyair akan melakoni permainan kata-kata ini, dalam menghasilkan karya puisinya. Coba saja lihat gramatika dan struktur bahasa pada karya Chairil Anwar berjudul ‘Doa’ berikut ini:
DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
***
Pada puisi di atas terlihat, tidak semua kata yang digunakannya sesuai dengan gramatika atau struktur bahasa. Kata ‘cayaMu’ tentu tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Jika menggunakan bahasa konvensional, kata itu semestinya ditulis ‘cahayaMu’.
Menurut Iwan Gunadi, mengungkapkan, bermain-main dengan kata memang sah dilakukan oleh para penyair. Tapi ia menegaskan, perombakan terhadap struktur bahasa yang baku itu semestinya menghasilkan sistem yang baru. “Namun sayangnya, saya tidak menemukan sistem yang baru itu dari puisi-puisi ketiga penyair,” terang Iwan.
Kendati demikian, ia menyadari bahwa penyair aan terus berproses untuk menemukan sistem yang baru itu dalam permainan kata-katanya. Dan hal itu bisa ditemukan, jika penyair setia dalam menghasilkan karya-karyanya.

Senin, 20 April 2009

Tentang Puisi dan Kedongkolan

Puisi tak selalu harus indah tapi setidaknya memiliki makna karena puisi adalah bahasa jiwa sang penulis atas sebuah realitas yang ada,puisi juga bisa tercipta secara temporal karena sebuah kekuatan imajiner.Puisi bisa menceritakan hal apa saja, selama itu memungkinkan,selama itu bisa mengekspresikan wajah kekesalan,….maaf..sahabat Blogger,..ini hanya sebuah apresiasi kekesalan saja,Kemarin saya membuat sebuah puisi sederhana tentang seorang bangsawan yang berjiwa bangsa(t)wan.puisi yang sangat mengasikkan menurut batin saya,karena benar-benar “menelanjangi”aura kelam seseorang yang katanya bangsawan,..Dimata saya puisi itu sederhana saja,..sekedar ingin meluapkan kesal yang menggelora,panas….Puisi itu lahir dari pergulatan dengan figur bangsawan yang rada-rada kampungan,ortodoks habis…Mau dipanggil inilah,itulah..membanggakan silsilah inilah,silsilah itulah,yang kesemuanya juga masih dipertanyakan keasalannya.mudah2an bisa terlampiaskan di blog ini,beberapa hari menyelami karakter bangsa(t)wan benar-benar membuat saya dongkol habis,..

Thanks yah sudah mau mampir..

Sedikit Tentang Puisi

Puisi adalah karya tulis hasil perenungan seorang penyair atas suatu keadaan atau peristiwa yang diamati,dihayati,atau dialaminya.
Cetusan ide yang berasal dari peristiwa atau keadaan itu dikemas oleh seorang penyair kedalam bahasa yang padat dan indah.Pembaca atau penikmatnya lalu merasakannya sebagai sebuah karya tulis yang mengandung keindahan dan pesan".Puisi dapat dinikmati melalui membaca atau mendengarkannya.Dalam bagianini kalian berlatih mendengarkan pembaca puisi,kemudian mengungkapkan tema dan pesan yang dikandungnya.
Kalian diharapkan dapat:
  1. Menemukan daya tarik sebuah puisi
  2. Menemukan pesan yang terkandung dalam puisi
  3. Membuat ilustrasi(gambar)yang relevan dengan jiwa puisi

  • Menemukan daya tarik sebuah puisi

Puisi akan menarik apabila sebuah puisi tersebut ditulis berdasarkan konsep atau peristiwa yang dialami oleh penulis atau orang yang ada disekitar penulis(dimasyarakat).Sebuah puisi akan tertulis berdasarkan pengalaman yang tak terlupakan dalam hidupnya.

Contoh:

Aku Ingin

Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat kuucapkan

Kayu dengan api yang menjadikannya aku

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

temukan sendiri ya?!

puisi darikoe...!!!

Tentang Cinta

Kenapa kita menutup mata

ketika kita tidur??

ketika kita menangis??

ketika kita membayangkan suatu hal??

Itu karena hal yangterindah didunia ini tidak terlihat

Kita semua agak aneh dan hidup sendiri juga agak aneh

Dan ketika dia menemukan seseorang yang keunikannya sejalan dengan kita

Kita bergabung dengannya dan jatuh kedalam suatu keanehan yang dinamakan "C!NT@"...

Cinta yang tulus...

Adalah ketika kamu menutup mata dan masih perduli terhadapnya

Adalah ketika dia tidak memperdulikanmudan kamu masih menunggu dengan setia

Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu masih bisa tersenyum dan berkata,"Aku turut berbahagia untukmu"

Cinta sejati mengerti ketika kamu berkata,"Aku lupa"

Menunggu selamanya ketika kamu berkata,"Tunggu sebentar"

Tetap tinggal ketika dia melukai hatimu

Mencintai...

Bukanlah bagaimana kamu melupakan melainkan bagaimana kamu bertahan

Bukanlah bagaimana kamu mendengar melainkan bagaimana kamu mengerti

Bukanlah apa yang kamu lihat melainkan apa yang kamu rasa

Bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan bagaimana kamu bertahan

Apabila cinta tidak berhasil

Bebaskan dirimu

Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang kealam bebas lagi

Ingatlah Bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangan

Tapi ketika cinta itu mati,kamu tidak perlu mati bersamanya.

Menulis Itu Gampang ?

Oleh Desi Kristiani

bulan di atas kuburan

Demikian isi puisi ”Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang. Puisi sebaris, teramat pendek, dan sederhana yang menimbulkan polemik. Di antaranya, banyak bersuara nyinyir, ”Cuma sebegitukah menulis puisi? Sesederhana itukah puisi? Berarti, gampang menulis puisi -- tak perlu sampai ‘berdarah-darah’ dan samedhi.” Benarkah demikian?
Bagi penyair, puisi adalah kebanggaannya, aliran darahnya, pelepasan ekspresinya, kepribadiannya, ciri khasnya, napas hidupnya – bahkan, sarana mencari sesuap nasi. Penyair menjadi mati – disebut tak berkarya – jika tidak menulis puisi. Sekian banyak kredo yang disampaikan penyair untuk menguatkan puisi -- seperti kredo Sutan Takdir Alisyabana, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri; dan bejibun arti yang dikemukakan para ahli mengenai puisi, tetapi bagi orang awam, puisi adalah puisi – barisan kata dan kalimat yang mempunyai bait, rima, irama, dan sebagainya. Artinya, puisi tidak sepenting doa atau kitab suci.

***
Suatu malam, di salah satu kafe di Taman Ismail Marzuki, Sutardji Calzoum Bachri membenarkan bahwa menulis puisi itu gampang. ”Bahkan, apa pun bisa ditulis jadi puisi,” katanya. Wah!
Sesekali menyeruput teh manis yang mulai dingin, penyair yang sudah meninggalkan gaya mabok ini menjelaskan, segala kejadian yang ada, baik di sekitar maupun jauh dari kita, dapat ditulis menjadi puisi. Juga, peristiwa yang terjadi sesaat, seperti tabrakan kereta, pesawat jatuh, bom meledak, bisa dijadikan puisi. Sebab, puisi tak jauh beda dengan tulisan-tulisan lainnya, seperti laporan wartawan atau berita yang tertulis di koran, mengenai politik, sosial, ekonomi, demonstrasi. ”Sehingga ada penyair yang cuma memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu untuk menulis puisi,” katanya.
Banyak yang terkejut dan meragukan pendapatnya ini. Meski Tardji diakui sebagai presiden penyair, bukan berarti perkataan presiden adalah sabda atau firman – yang tidak ada salah atau cacatnya. Lalu, ia menunjuk sepotong koran yang tergeletak di atas meja seraya menjelaskan bahwa berita-berita itu dapat menjadi puisi bila dibacakan dengan teknik puisi.
Serta merta saya tertarik, meraih koran itu dan membaca sepenggal beritanya, dengan artikulasi dan intonasi membaca puisi. Apa yang terjadi? Tardji tersenyum. Dan teman-teman seniman memperhatikan dengan mangut-mangut. Merasa belum cukup, saya membaca dua lembaran besar menu makanan dan minuman yang tergantung di dinding kafe itu dengan artikulasi dan intonasi yang sama dalam pembacaan puisi:

Nasi Goreng Es Campur
Pecel Lele Wedang Jahe
Soto Babat Es Jeruk
Ikan Bakar Kopi Susu
Sate Kambing Jus Nenas

Mendengar itu, Tardji tertawa. Dan teman-teman seniman bertepuk tangan. Sebaliknya, ingatan saya segera tertuju kepada dua penyair muda berbakat besar, yang mengekspresikan pendapat Tardji ini – dengan pendekatan lain. Yonathan Rahardjo sering menulis puisi dengan memasukkan jenis-jenis makanan dan minuman masyarakat kita sehari-hari, seperti ketupat, lepat, peyek, bandrek, pisang goreng.
Lebih ekstrem lagi Saut Sitompul, penyair yang baru saja pulang ke haribaanNya, berhasil menulis apa pun jadi puisi, bahkan menganjurkannya. Seperti isi salah satu puisinya:
ada daun jatuh, tulis/ada belalang terbang, tulis…
Jadi, benarkah segala sesuatu (persoalan) dapat dijadikan puisi? Tak perlukah bersusah payah menulis puisi? Tak perlukah merenung di gunung dan berpuasa setahun untuk membuat puisi? Tak perlukah perenungan, pendalaman dan pemadatan makna?
Tergantung pencipta puisi itu sendiri. Tetapi, siapa yang keberatan, jika apa saja yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, lalu ditulis dengan bentuk puisi, lalu dinobatkan sebagai puisi? Jika semua masalah ditulis dengan berbentuk bait puisi, adakah yang melarang? Itu hak asasi seseorang. Hak berpendapat. Hak berekspresi. Hak berkarya. Bila akhirnya puisi yang dihasilkan itu dianggap tak berguna, ya, terserah. Jika pun orang-orang menganggap rada gila, ya, biarkan saja. Bukankah penyair besar sering bertingkah aneh-aneh, misalnya mabok bir, bawa kapak, buka baju dan bergulingan di atas panggung kala baca puisi? Lagi pula, entah apa dasar hukumnya, untuk dapat diakui penyair, seseorang harus berani bertindak rada gila; seperti teriak-teriak di keramaian, baca puisi di atas pohon? Semuanya demi puisi, demi puisi. Demikian anehkah puisi?

***
Banyak jalan menuju Roma. Beribu cara untuk menciptakan puisi. Salah satu kiat jitu yang kerap diakui (baik tua maupun muda dan pemula) adalah jatuh cinta. Bukankah orang yang sedang kasmaran gampang menulis puisi? Seperti puisi ”Surat Cinta” Rendra, berikut ini:
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku.

Jadi, dengan menumpahkan isi hati di atas secarik kertas dengan kata-kata indah dan terpilih, tulisan akan menjelma puisi. Atau, silakan tulis surat cinta dengan kalimat-kalimat berbunga, dengan bentuk larik dan bait puisi, ya, dapat juga disebut puisi. Artinya, semakin sering jatuh cinta, tentu semakin terangsang untuk menulis puisi lebih banyak. Semakin banyak jatuh cinta, semakin banyak stock puisi yang akan tersedia.
Berarti, puisi itu dapat dihasilkan oleh siapa pun, yang bukan penyair? Benar. Siapa pun boleh menulis puisi -- tidak sebatas penyair semata. Tidak ada syarat atau batasan tertentu untuk dapat menulis puisi. Pencopet, penodong, pedagang asongan, petani, polisi, politikus, penipu, penjudi, pengusaha menengah, bankir, konglomerat, pengamen, boleh menulis puisi, tak ada larangan atau kutukan. Tak perlu takut dan frustasi. Puisi itu bukan kuntilanak atau momok hitam yang menakutkan. Jadi, tulislah puisi semampu dan seluas jangkauan dan wawasan.
Jika puisi yang ditulis dinilai orang jelek, tak perlu berduka dan frustasi. Terus saja menulis puisi, meski belum memenuhi kaidah-kaidah puitis. Ciptakan terus, tanpa henti – toh masih ada hari esok menanti untuk puisi yang (mungkin) lebih baik. Sejelek apa pun puisi yang dibuat, kata Tardji, tetap saja puisi. Tetapi, silakan renungkan sendiri, termasuk kategori puisi apa? Puisi asal jadi? Puisi basi? Adakah berisi tanda? Atau sekadar corat-coret penumpahan isi hati?
Ingat, puisi bukan alat propaganda, bukan sarana pelepasan kegalauan, bukan pula tong sampah unek-unek.

***
Meski bahasa puisi dan bukan puisi terasa cair; sesungguhnya puisi, sesederhana apa pun, harus penuh dengan ambiguitas dan homonim, penuh dengan asosiasi, memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada dan sikap—mengutamakan tanda. Masalah ini dipertegas Rene
Wellek & Austin Warren, bahasa puisi penuh pencitraan, dari yang paling sederhana sampai sistem mitologi (1993:20). Sementara Sapardi Djoko Damono memberi pengertian lebih sederhana, bahwa puisi adalah ”ingin mengatakan begini, tetapi dengan cara begitu.”
Jika demikian, puisi yang tidak dipenuhi tanda, belum layak disebut puisi? Ingat pendapat Tardji, tetap puisi. Tetapi puisi sesaat; sekali cecap langsung tak bermanfaat. Puisi donat. Seperti puisi yang dibuat anak kelas empat SD, tetap saja disebut puisi.
Itu pula alasan Tardji membagi puisi berdasarkan fungsinya. Jika seseorang menulis puisi untuk kebutuhan sesaat, ya, cuma sebatas itu manfaatnya.
Puisi itu akan segera tersapu angin dan hujan. Sebaliknya, jika puisi diciptakan berdasarkan perenungan mendalam, tanpa dipengaruhi kebutuhan apa pun, akan menjadi puisi sejati. Contohnya puisi-puisi Chairil Anwar. ”Maka, sangat disayangkan, bila ada penyair yang menulis puisi dengan memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu,” imbuhnya.
Sekilas pendapat ini bertentangan dengan kesimpulan Wellek & Warren, bahwa tipe-tipe puisi harus memakai paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara konstektual, asosiasi irasional, memperkental sumber bahasa sehari-hari, bahkan dengan sengaja membuat
pelanggaran-pelanggaran. Tetapi, bila dicermati, pendapat Tardji lebih mudah dimengerti dan lebih menegaskan atas keluhan penyair-penyair muda, ”Ada juga puisi pesanan. Puisi yang ditulis oleh penyair untuk kebutuhan, momen atau acara tertentu dengan bayaran tertentu pula.”
Bertitik tolak dari pendapat ini, berarti menulis puisi teramat sulit-lit. Tidak cukup dengan mengamati peristiwa-peristiwa yang ada. Menulis puisi harus penuh perenungan, mendasar dan berdasar. Bahkan, terkadang harus mengalami trance. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, dialami, tidak serta merta dapat dijadikan puisi, melainkan harus dikaji, diendapkan, direnungkan secara mendalam. Untuk menulis sebuah puisi saja, sering penyair harus melalui proses sepekan, setahun, sepuluh tahun. Itu pula sebabnya, bila dibandingkan dengan karya seniman lain, sepertinya daya kreativitas penyair dalam berkarya sangat tertinggal jauh. Sebab, setiap penyair (sejati), meski telah berkarya secara maksimal seumur hidupnya, tak dapat menghasilkan seabrek puisi. Bahkan, tak sedikit penyair seumur hidupnya cuma mampu menulis beberapa puisi, misalnya Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo, JS Tatengkeng.
Lalu, masihkah dapat disebut menulis puisi itu gampang? Ada yang menjawab, tergantung kata hati. Ada juga yang menyebut, tanyakan daun-daun yang berguguran. Bahkan, ada pendapat lebih ekstrem, tanyakan pejabat atau konglomerat yang getol bikin puisi, lalu menerbitkan seabrek buku puisi (persis album rekaman dangdut) dan membuat album dangdut puisi atau puisi dangdut yang dipasarkan door to door dengan pelbagai alasan sosial, kemanusiaan dan pengabdian. Ayo, siapa ikut bergoyang puisi?

Penulis adalah pekerja seni